Senin, 23 Mei 2011

Bahagia itu pilihan

Aku percaya bahwa bahagia itu pilihan, bukan karena keadaan. Meskipun agak susah bagiku untuk menjelaskan. Ya, mungkin dengan sedikit contoh, ini akan menjadi lebih mudah untuk dijabarkan.


Misal saat ada orang lain berbuat hal yang merugikan, mungkin menghina atau memfitnah. Pada umumnya orang yang mendapat perlakuan tersebut akan bersedih atau marah. Sedih dan atau marah tersebut adalah kondisi yang menggambarkan bahwa seseorang tersebut sedang dalam keadaan tidak bahagia.


Lalu pertanyaannya adalah, apakah kita harus sedih atau marah saat mendapat perlakuan tidak menyenangkan tersebut? Saya menjawab: TIDAK! Mungkin saya akan lebih memilih untuk mengabaikan perlakuan mereka, yaa.. cuekin aja! hidup ini terlalu indah untuk dikorbankan dengan memikirkan hal-hal gak penting yang hanya akan merusak kebahagiaan.


Bahagia adalah sebuah perasaan yang mana perasaan tersebut ada dalam diri kita sendiri, begitu juga dengan sedih, marah, atau derita, semua soal rasa - perasaan. Jadi kita sendiri yang seharusnya mengendalikan perasaan tersebut, artinya kitalah yang membuat keadaan diri kita menjadi bahagia atau menderita.


Jika bahagia adalah pilihan, dengan begitu kita tau apa yang harus kita lakukan untuk tetap merasa bahagia. Misal kasus diatas tadi, jika kita mempedulikan perlakuan buruk tersebut, kita akan merasa sedih, marah, atau bahkan menyimpan dendam, artinya kita memilih untuk hidup menderita. Akan tetapi keadaan akan berbeda jika kita mengabaikannya, tidak memperdulikannya, maka kita akan menganggap semua perlakuan buruk itu tidak pernah terjadi sehingga kita akan jauh dari perasaan sedih, marah atau dendam, artinya kita memilih untuk hidup dengan bahagia.


Yah.. benar atau tidak.. setidaknya itulah pelajaran hidup yang saya dapat akhir-akhir ini, dengan begitu banyak perlakuan buruk dari orang lain padaku. Semoga aku akan tetap terus memilih bahagia. Aamiin..

Jumat, 20 Mei 2011

Six Behaviors That Increase Self-Esteem

Dr. Denis Waitley
(excerpted from The Psychology of Motivation)


Following are 6 (six) behaviors that increase self-esteem, enhance your self-confidence, and spur your motivation. You may recognize some of them as things you naturally do in your interactions with other people. But if you don't, I suggest you motivate yourself to take some of these important steps immediately.

First, Greet others with a smile and look them directly in the eye.

A smile and direct eye contact convey confidence born of self-respect. In the same way, answer the phone pleasantly whether at work or at home, and when placing a call, give your name before asking to speak to the party you want to reach. Leading with your name underscores that a person with self-respect is making the call.

Second, Always show real appreciation for a gift or complement.

Don't downplay or sidestep expressions of affection or honor from others. The ability to accept or receive is a universal mark of an individual with solid self-esteem.

Third, Don't brag.

It's almost a paradox that genuine modesty is actually part of the capacity to gracefully receive compliments. People who brag about their own exploits or demand special attention are simply trying to build themselves up in the eyes of others—and that's because they don't perceive themselves as already worthy of respect.
Fourth, Don't make your problems the centerpiece of your conversation.

Talk positively about your life and the progress you're trying to make. Be aware of any negative thinking, and take notice of how often you complain. When you hear yourself criticize someone—and this includes self-criticism— find a way to be helpful instead of critical.

Fifth, Respond to difficult times 
or depressing moments by increasing your level of productive activity.
When your self- esteem is being challenged, don't sit around and fall victim to "paralysis by analysis."

Sixth, Choose to see mistakes and rejections as opportunities to learn.

View a failure as the conclusion of one performance, not the end of your entire career. Own up to your shortcomings, but refuse to see yourself as a failure. A failure may be something you have done —and it may even be something you'll have to do again on the way to success—
but a failure is definitely not something you are.


Cheers, Nurul Aslamiati
:)

Rabu, 11 Mei 2011

Tentang Kebahagiaan dan Cinta

Kita barang kali tidak perlu rumit untuk memikirkan bagaimana mekanisme bahagia. Bahagia, sesungguhnya hanyalah sebuah perkara sederhana. Namun, tak banyak yang cuma-cuma mendapatkannya.


Jika dielusuri, maka sesungguhnya setiap perilaku manusia akan menuju pada satu ordinat kecil saja yaitu kebahagiaan. Jika banyak yang memikirkan, bahwa dengan memperoleh uang banyak akan melahirkan kebahagiaan, maka sebanyak itu pula orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan uang, yang pada akhirnya menuju ordinat kebahagiaan itu sendiri.

Pertanyaannya, apakah benar uang akan menjanjikan kebahagiaan? Belum tentu! Jika yang menjadi titik goal dari kebahagiaan itu adalah serentetan gelar di ujung dan pangkal nama, maka kita melihat begitu banyak pula orang yang mengejarnya. Ordinatnya apa? Lagi-lagi kebahagiaan. Lalu, apakah benar ia menjanjikan kebahagiaan yang sesungguhnya?
Pada sisi lain, banyak orang yang mengakhiri hidupnya, dengan cara yang begitu tragis. Juga karena, sisi kebahagiaan yang tiada lagi bersemayam di hati mereka. Maka, sesungguhnya, lagi-lagi, arus gradient itu terkonsentrasi pada kata sederhana bernama kebahagiaan!
Coba, kita renungkan sejenak. Dahulu, jika kita masih duduk di bangku sekolah dasar, kita membayangkan, “bagaimana yah, nanti kalo sudah SMP?” Lantas, ketika sudah SMP, semua terasa biasa-biasa saja. Euporianya, hanyalah sesaat saja. Pun begitu seterusnya. Sama halnya dengan ketika kita bertanya, bagaimana sih rasanya mendapat gelar sarjana, magister atau bahkan professor? Barang kali, bahagianya hanya sesaat saja. Namun, setelahnya, semua kembali terasa biasa-biasa saja. Hal senada, barang kali juga kita rasakan ketika dahulu kehidupan kita serba susah. Lalu, ketika Allah mulai melapangkan rizki. Euphoria yang sesaat lalu kemudian semuanya terasa biasa-biasa saja. Hal ini semua sudah cukup menjelaskan betapa uang, kedudukan, gelar dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya hanyalah menjanjikan kebahagiaan sesaat. Hanya sesaat saja. Bahkan, barangkali ia kemudian menjadi begitu adiktif, selalu minta lebih dan lebih, yang katanya untuk mendapatkan kebahagiaan. Tapi, jika memang demikian, terlalu sempit makna bahagia itu.
Lalu, bagaimana sebenarnya buffer kebahagiaan itu, hingga ia tetap “long term” di dalam hati? Bagaimanakah?
Hanya ada satu kata dalam mengkatalis terjadinya kebahagiaan. Yaitu, CINTA!
Karena, cinta adalah energi yang begitu menggerakkan. Mungkin, adalah hal klise jika dikatakan, “seorang pemalas tiba-tiba menjadi rajin, karena jatuh cinta. Dan, seorang yang begitu kasar dan keras, tiba-tiba menjadi lembut dan puitis karena cinta.” Tapi, memang begitulah adanya cinta. Kekuatan besar yang mengubah. Tak lekang oleh zaman, dan tak mengenal kata klise.
Coba, kita rasakan sejenak. Bukankah adalah kebahagiaan, ketika kita bisa membuat orang yang kita cintai bahagia? Ketika kita mencintai ayah dan ibu kita, maka adalah kebahagiaan ketika kita bisa membuat beliau berdua bahagia, tak peduli diri kita berpeluh payah? Dan, itu juga sebaliknya —bahkan, barangkali secara eksponensial sudah berpangkat tak berhingga— seorang ayah, atau ibu, tidak pernah peduli dengan peluh payahnya, bahkan berdarah-darah, hanya karena ia ingin, anak yang ia cintai bahagia! Lagi-lagi, sebenarnya, kata kunci atas bahagia adalah cinta!
Seorang pencinta, akan selalu ingin membuat apa yang dicintainya bahagia. Bahagia. Yah, bahagia! Ia, akan begitu cemas dan khawatir, jika sedikit saja ia melukai seseorang yang ia cintai itu.
Semuanya karena cinta. Dan, cintalah yang kemudian melahirkan kebahagiaan.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...