Jumat, 05 Oktober 2012

Doa-doa itu pasti mustajab

Doa-doa laksana mantra yang kurapalkan untuk menyimpul mati tali-tali tak kasat mata, mengikatkan aku di jiwa pada ragamu yang tanpa belenggu.
Sementara aku mati-matian menjaga aku agar tak terlepas dari ikatan yang kubuat sendiri, kau bebas melangkahkan kakimu yang terus ku ikuti kesana kemari bahkan meski aku tak tau kemana tujuanmu berakhir.

Kadang aku merasa letih, tangan-tanganku mati rasa tak kuasa berpegang pada lenggang lenganmu, mulutku menracau mengaburkan kata. Aku jatuh, penglihatanku meredup, tapi aku masih bisa mendengar saat kau akhirnya bertanya 'Apa kau baik-baik saja?' Aku hanya bisa sedikit menganggukan kepala, lalu kudengar tapakan kakimu menjauh.

Aku kebingungan mencarimu saat siuman, kau sudah melangkah jauh. Tak jarang aku harus berlari menyusuri jalan, mengikuti jejak yang kau tinggalkan, sambil ku rapal lagi dan lagi doa dan mantra yang kuingat.

'Akhirnya aku menemukanmu lagi' mataku berbinar meski hanya bicara pada diri sendiri, sementara kau, kembali diam dalam pergerakanmu. Aku percaya kau menyadari keberadaanku, walau tak kau genggam tanganku untuk berjalan bersamamu, berdampingan. Kau tak pernah memintaku pergi, lalu kuyakini bahwa hatimu sebenarnya tersenyum dan memahami arti hadirku walau caramu sulit untuk aku pahami.

***

Aku sudah mengikutimu berkilo-kilo meter, kau masih diam. Sudah banyak cerita aku dongengkan untuk memecah kebisuan, kau terus diam.

Diam waktu ku kisahkan tentang kelucuan teman-teman saat Sekolah Dasar yang sudah mulai disuka dan didekati oleh teman lawan jenis, namun tidak dengaku karena aku yang tak menarik sama sekali hanya karena aku miskin.

Kau juga diam saat ku kisahkan tentang masa SMP, dimana aku mengenal seorang teman laki-laki yang tampan, romantis dengan senandung lagu dan petikan gitarnya. Teman dekat yang bahkan lebih dari sekedar teman, kedekatan yang kemudian ditentang oleh orang tuaku. 'Masih sekolah tidak boleh pacaran'  begitu kata ibuku dan sederet nasehat lainnya agar aku fokus pada pelajaran sekolah.

Kau masih diam, saat kukisahkan betapa serunya masa SMA ku, dimana aku hampir habiskan seluruh waktuku untuk kegiatan extrakurikuler dan kursus bukan hanya karena hobi dan mengejar prestasi, tapi juga untuk melupakan rasa gelisah masa remajaku; 'Mengapa mereka punya pacar dan aku tidak?'

Kau tak memintaku diam, maka di waktu yang lain aku kisahkan lagi bagaimana akhirnya aku bertemu kekasih, mejalani cinta yang terpisah jarak, lalu menikah, sebuah komitmen dengan ikatan syah secara agama dan diakui negara. Pernikahan yang dulu pernah aku banggakan karena berlandas cinta namun akhirnya harus kandas.

Kuceritakan semua padamu rasa kecewaku akan kegagalanku, tentang beban berat yang kutanggung atas status baru akibat hancurnya bahtera oleh hantaman ombak dan badai setelah terombang-ambing tak tentu arah. Tentang pahitnya hinaan orang-orang yang meluangkan banyak waktunya untuk masuk dan merecok kehidupan pribadiku, tentang dua bocah kecil yang menjadi penguat dan sumber semangat hidupku.

Tak jarang aku menangis terbawa emosi, mengingat dan menceritakan semua yang kini hanya kuingat sebagai masa lalu. Kau yang diam tanpa kata, bagiku tak mengapa, selama tak kau tepis aku yang kadang tanpa ragu bersandar di pundakmu saat harus ku sembunyikan muka yang basah dengan air mata. Di saat itulah kemudian yang entah seperti ada kekuatan besar menggerakkan lenganmu menyentuh mengusap kepalaku, lalu kau lepas saat kau yakin aku bisa kembali tegak berjalan, meski aku masih ingin melekatkan diri pada tubuhmu yang selalu kurindukan untuk bisa memelukku.

Di saat yang sama aku menghibur hatiku bahwa memang itulah caramu bicara, bukan dengan memuntahkan kata untuk ditangkap telinga. Aku meyakinkan diri bahwa kau tak sepenuhnya diam, bahwa kau masih bisa melukis senyum untuk kau suguhkan padaku sebagai tanda kau mendengar setiap kisahku.
Senyum yang menjadi alasan mengapa aku masih mengikatkan harapan pada cintamu, alasan mengapa aku tak berhenti berdoa untuk menguatkan harapan-harapanku. Harapan untuk bisa bersamamu menyusuri jalan-jalan yang hendak kau jelajahi, bersama dalam keadaan yang lain yang tidak lagi seperti sekarang, bersama yang terus saling bergandengan, berpelukan, berdekapan.

Suatu hari ketika harapan itu terwujud, aku yang akan dengan senang hati memberikan semua padamu, semua yang kau butuhkan dan semua yang bisa ku berikan, semua, semua yang aku punya. Aku ingin kau dan aku menjadi bagian hidup yang tak terpisah, karena aku ingin selalu menjadi alasanmu bahagia, tersenyum, tertawa.

Meski aku tak tau entah sampai kapan harus menunggu, aku terus menegarkan hati dan percaya bahwa doa-doa itu pasti mustajab untuk menjadikan harapan itu benar-benar berubah nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...